1.
DEFENISI
HALITOSIS ATAU BAU MULUT
Pengertian gigi dan mulut mencakup
pengertian tentang gigi sehat, gigi karies dan penyakit-penyakit lain yang
terjadi didalam rongga mulut. Kesehatan gigi dan mulut sangat dipengaruhi oleh
kebiasaan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Bila pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut secara rutin dilaksanakan maka kemungkinan akan terjadi penyakit
dalam rongga mulut lebih kecil dibanding bila hal tersebut diabaikan(Kristina,
D., 2003). Kesehatan gigi dan mulut yang kurang baik dan penyakit-penyakit
dalam mulut yang tidak dirawat sering merupakan gangguan karena rasa sakit yang
ditimbulkan dan juga dapat menyebabkan rasa rendah diri pada penderitanya karena adanya bau mulut
yang tidak sedap atau dikenal dengan halitosis (Sugiharto A.A :2003).
Rongga mulut yang sehat memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif, menikmati berbagai jenis makanan, meningkatkan kualitas hidup, percaya diri, dan mempunyai kehidupan sosial yang lebih baik. Adanya halitosis memberikan dampak negatif terhadap semua hal tersebut, bahkan dapat memicu stres (Pintauli and Hamada, 2008). Halitosis dapat menimbulkan kerugian tidak hanya pada penderita tetapi juga orang lain dan dapat memengaruhi kehidupan sosial seseorang seperti rasa malu, menghindari pergaulan sosial dan penurunan rasa percaya diri (Djaya, 2001). Oral hygiene yang buruk merupakan faktor risiko penyakit gigi dan mulut. Praktik oral hygiene dipengaruhi oleh lingkungan sosiodemografis, tingkat pendidikan, dan status sosioekonomi yang memberikan kontribusi pada kebiasaan menjaga kebersihan gigi dan mulut serta menggunakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut (Thapa et al.,2016).
Halitosis berasal dari
sulfur berbentuk gas Volatile Sulphur Compounds atau VSC yang mudah menguap, merupakan produk sampingan dari bakteri. Adanya
inflamasi dalam rongga mulut, poket yang dalam, pendarahan, apalagi dengan pendarahan spontan dapat
meningkatkan konsentrasi VSC dalam mulut sehingga dapat menimbulkan halitosis(Mustaqimah, D. N., 2002).
Halitosis dihubungkan
dengan penyakit gigi dan jaringan sekitarnya seperti karies gigi, ganggren pulpa, gingivitis, periodontitis, stomatitis, glosistis dan kanker rongga mulut, semua penyakit ini dapat menimbukan halitosis patologis atau halitosis yang disebabkan oleh karena penyakit (Herawati, D., 2003).
Bau mulut sering
disebut sebagai halitosis atau fetor ex ore atau fetor oris adalah
istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan suatu bau tak sedap yang berasal
dari rongga mulut. Bau mulut terutama disebabkan oleh gas yang disebut volatile
sulfur compound, dihasilkan dari
metabolisme protein yang mengandung sulfur aminoacid oleh bakteri rongga
mulut. Namun, zat-zat lain yang tidak mengandung sulfur juga telah
teridentifikasi sebagai kontributor yang potensial terhadap bau mulut, seperti volatile
aromatic compounds yaitu indol dan skatol, asam organik yaitu acetik
dan propionik, dan amine yaitu cadaverine dan putrescine (McDowell JD, Kassebaum DK. :1993)
Halitosis merupakan
istilah untuk mendefinisikan bau tidak sedap dari pernafasan. Bau yang tidak
sedap diakibatkan oleh bebasnya Volatile Sulfur Compound (VSCs) yang
disebabkan oleh aktifitas pembusukan dari mikroorganisme gram negatif
(Alshehri, 2015). Menurut (Agus Djaja tahun 2000) terdapat beberapa istilah bau
mulut yang dipergunakan didunia ilmiah atau dimasyarakat sehari-hari. Istilah
tersebut adalah halitosis, fetor oris, fetor ex ore, bau mulut, nafas tak
sedap, oral malodor, bad breath, dragon breath dan jungle mouth.
2.
MEKANISME TERJADINYA
HALITOSIS
Nafas bau secara
mendasar disebabkan oleh dua hal yaitu fisiologis dan patologis. Sumber fisiologis
dari nafas bau berasal dari kondisi pada permukaan dari lidah. Bakteri yang
dijumpai pada permukaan lidah pasien yang sehat berbeda dengan pasien pengidap
halitosis. Sumber patologis melibatkan keparahan saku gusi, yang dikenal dengan
penyakit periodontal. Penyebab utama halitosis adalah bakteri dan VSC’s (The
California Breath Clinic).
Halitosis berasal dari
sulfur berbentuk gas Volatile Sulphur Compounds atau VSC yang mudah menguap, merupakan produk sampingan dari bakteri. Adanya
inflamasi dalam rongga mulut, poket yang dalam, pendarahan, apalagi dengan pendarahan spontan dapat
meningkatkan konsentrasi VSC dalam mulut sehingga dapat menimbulkan halitosis.
Halitosis dihubungkan
dengan penyakit gigi dan
jaringan sekitarnya seperti karies gigi,
ganggren pulpa, gingivitis, periodontitis,
stomatitis, glosistis dan kanker rongga mulut,
semua penyakit ini dapat menimbukan halitosis
patologis atau halitosis yang disebabkan oleh karena penyakit .
Karies gigi adalah
kerusakan gigi yang ditandai dengan
rusak email dan
dentin yang
progresif yang disebabkan keaktifan
metabolisme bakteri. Pada tahap awal sampai karies lanjut gigi masih vital, karies gigi dapat meningkatkan kadar VSC yang disebabkan
karena adanya pembusukan sisa makanan oleh
bakteri didalam karies sehingga akan
menimbulkan halitosis.
Gingivitis biasanya
disebabkan oleh kondisi lokal maupun sistemik. Kondisi lokal meliputi hygiene
mulut yang buruk impaksi makanan, dan iritasi lokal. Kondisi sitemik
dipengaruhi oleh perubahan hormonal dan pemberian obat-obatan seperti obat anti
konvulsan phenytoin dan derivatnya. Proses gingivitis biasanya diawali dengan perubahan gingival yang ditandai adanya perubahan warna, bentuk,
ukuran, konsentrasi dan karakteristik permukaan gingival. Rasa nyeri dan sakit
merupakan tanda yang langka dari gingivitis. Rasa nyeri biasanya timbul pada saat menyikat gigi
dan kadang timbul pendarahan, oleh karena itu penderita cenderung menyikat
lebih lembut dan lebih jarang sehingga plak akan semakin terakumulasi dan dapat
memperparah kondisi gingiva. Gingivitis dalam kondisi yang sudah parah dapat
terjadi pendarahan spontan sehingga akan menimbulkan bau mulut atau halitosis
yang berasal dari darah dan akumulasi pada gingival yang meradang. Meningkatnya
akumulasi plak yang berasal dari sisa makan yang mengandung protein dan adanya
sel darah yang mati pada gingival, akan meningkatkan kadar VSC, sehingga
menimbulkan halitosis.
Periodontitis terjadi
karena masuknya kuman ke jaringan pendukung gigi bisa melalui gusi atau melalui daerah apikal sebagai
kelanjutan dari karies yang tidak dirawat.
Terjadinya peradangan pada jaringan penyangga gigi menyebabkan terbentuknya poket
dan resesi gingival. Poket merupakan ciri utama dari periodontitis. Poket ditandai dengan warna gingival menjadi merah sampai kebiruan pada
gingival tepi sampai gingival cekat.
Bentuk tepi gingival membesar
dan membulat, papilla interdental tumpul,
kadang timbul pendarahan pada gingival. Poket dan pendarahan pada gingival
akan meningkatkan konsentrasi
VSC, karena protein yang berasal dari
sisa makanan dan sel darah yang mati pada poket, oleh aktivitas
bakteri dalam mulut terbentuk gas VSC yang berbau tidak sedap dan menimbulkan halitosis. Poket dan akumulasi plak
akan menimbulkan bau mulut yang
sangat mengganggu karena adanya
pembusukan sisa makanan dan pembusukan jaringan pada poket.
Stomatitis
aftosa recurens atau RAS adalah salah satu kelainan
mukosa mulut yang paling
sering terjadi . RAS
diklasifikasikan menjadi stomatitis
aftosa recurrens minor atau MIRAS dan stomatitis aftosa recurens
mayor atau MARAS. MARAS lebih hebat daripada MIRAS, secara
klinis ulser ini berdiameter kira-kira
1- 3 cm berlangsung selama empat
minggu atau lebih dan dapat terjadi dibagian
mana saja dalam rongga
mulut. Ulser pada mukosa
mulut akan menimbulkan rasa sakit terutama bila tersentuh ,
pasien akan mengabaikan kebersihan gigi
dan mulutnya, sehingga terjadi peningkatan kadar VSC yang berasal dari pembusukan sisa makanan dan jaringan pada stomatitis mayor yang dapat menimbulkan halitosis.
Glositis merupakan
istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan perubahan pada lidah. Khususnya perubahan bagian-bagian dari lidah tampak mengalami
denudasi atau lebih merah dari
lazimnya. Lidah memiliki area
permukaan kasar yang luas. Area tersebut
merupakan tempat tertimbunnya plak, yang
merupakan lapisan tipis yang berasal dari sisa makanan, terutama pada bagian posterior lidah. Peradangan pada lidah atau glositis
yang parah, akan meningkatkan akumulasi
plak pada lidah, karena daerah tersebut akan semakin sulit untuk dibersihkan sehingga akan
meningkatkan kadar VSC dan menimbulkan
halitosis.
Kangker rongga mulut
adalah tumor ganas yang sering terjadi di dalam rongga mulut yang biasanya berupa
lesi dan kadang-kadang timbul
pendarahan. Lesi ini dapat terjadi pada dasar mulut, gusi, mukosa bukal
dan lidah. Lesi dan pendarahan pada kanker rongga mulut akan
meningkatkan kadar VSC sehinggamenimbulkan halitosis(Ni Putu Adnyani, I Made Budi
Artawa. 2016)
Bau mulut dapat
disebabkan oeh beberapa kasus antara lain adanya penyakit saluran napas atas
dan bawah, kelainan neurologi, dan kelainan pencernaan, penyakit sistemik, dan
penggunaan obat-obat analgesik, antihipertensi, antidepresi, dan antibiotik
juga menimbulkan bau mulut. Hal lain yang dapat menyebabkan timbulnya bau mulut
tersebut adalah faktor emosi seperti stres(Burket W Lester. 1994)
Pada banyak kasus, bau
mulut berkaitan dengan keadaan rongga mulut yang berhubungan dengan metabolisme
bakteri mulut dan dimodulasi oleh
saliva, sehinggga menghasilkan gas yang dapat menimbulkan bau(Burket W Lester.
1994)
Sumber utama penyebab
bau mulut dapat diukur dengan adanya volatile sulfur compounds(VSC) dengan
menggunakan alat bantu seperti organoleptic, chromatographich, dan menggunakan
sulphide monitor(Rosenberg M.1991). akumulasi sisa makanan didalam mulut,
terjadinya dekomposisi bakteri seperti yang terjadi pada punggung lidah,
jaringan periodontal, dan juga pada gigi tiruan yang tidak baik dan tidak di bersihkan semuanya dapat
menimbulkan bau mulut. selain itu, bau mulut dapat juga dapat timbul pada
kasus-kasus seperti adanya poket periodontal, karies gigi dalam perawatan
orthodonti, pseudopoket yang berhubungan dengan erupsi gigi dan pembesaran
gingiva, kehilangan interdental papila, serta akibat bedah yang menimbulkan perdarahan,
dan nekrosis jaringan. Sebagian besar kasus halitosis yang berasal dari rongga
mulut merupakan hasil dari metabolisme bakteri yang terdapat di dorsum lidah
dan jaringan periodontal, serta dapat diperberat oleh daya aliran saliva yang
rendah sepanjang hari dan adanya impaksi makanan(Burket W Lester. 1994).
Bau mulut dapat
bersumber dari intraoral, dan bau mulut juga dapat berasal dari faktor
ekstraoral termasuk faktor sistemik, namun 90% dari semua bau mulut berasal
dari mulut itu sendiri. Faktor lokal bau mulut dapat berasal dari lidah dan
sulkus gingiva, termasuk retensi makanan yang dapat menghasilkan bau pada
permukaan gigi atau di antara gigi, tongue coating, Necrotizing
Ulcerative Gingivitis (NUG), keadaan dehidrasi, karies, gigi tiruan,
merokok, dan penyembuhan luka bedah atau ekstraksi. Sumber ekstraoral yang
dapat menimbulkan bau mulut antara lain berasal dari berbagai infeksi atau lesi
traktus respiratorius seperti bronkhitis, pneumonia, bronkhiektasis, dan lain
lain serta bau yang diekskresikan melalui paru-paru dari substansi aromatik
dalam aliran darah, seperti metabolit dari makanan dan produk metabolisme sel.
Napas dari peminum alkohol, bau aseton dari penderita diabetes, dan napas uremik
yang menyertai disfungsi ginjal merupakan contoh dari bau mulut yang terjadi
karena faktor ekstraoral. Daerah pada hidung atau nasopharynx perlu
diperhatikan pula karena udara juga melalui daerah ini. Bau mulut dapat
bersumber dari tempat ini apabila terdapat kelainan-kelainan atau
penyakit-penyakit seperti penyakit pada sinus maksilaris misalnya sinusitis
kronis, adanya penyakit infeksi pada tonsil, kelenjar adenoid, larynxitis dan
pharynxitis merupakan penyebab bau mulut yang bersumber dari daerah hidung dan
sekitarnya( Preti G, Clark L,dkk: 1992).
Daerah pada hidung atau
nasopharynx perlu diperhatikan pula karena udara juga melalui daerah ini. Bau
mulut dapat bersumber dari tempat ini apabila terdapat kelainan-kelainan atau
penyakit-penyakit seperti penyakit pada sinus maksilaris misalnya sinusitis
kronis, adanya penyakit infeksi pada tonsil, kelenjar adenoid, larynxitis dan
pharynxitis merupakan penyebab bau mulut yang bersumber dari daerah hidung dan
sekitarnya (Djaya A.:2000).
3.
PERILAKU SESEORANG TERHADAP
TIMBULNYA PRNYAKIT HALITOSIS
Sembilan
puluh persen pasien halitosis mempunyai penyebab dari mulut seperti kebersihat
mulut yang jelek, penyakit periodontal, lapisan pada permukaan lidah, sisa
makanan yang terbenam, gigi tiruan lepasan yang kotor, kanker dimulut, dan
radang tenggorokan (The California Breath Clinic).
Penyebab halitosis biasanya karena
kebersihan mulut yang buruk, karies yang dalam, penyakit periodontal, infeksi
rongga mulut, mulut kering, mengonsumsi rokok, ulserasi mukosa, perikoronitis,
sisa makanan dalam mulut serta tongue coating (Cortelli et al.,
2008).
Selain itu adanya perilku buruk seperti
kurangnya kebersihan mulut,pola makan juga merupakan penyebab utama halitosis
karena adanya proses penguraian protein oleh bakteri, penguraian protein oleh
bakteri ini menghasilkan gas yang berbau seperti hidrogen sulfida, metil
mercaptan,kadaver, skatol, dan putricine, sehingga produk makanan yang kaya
protein dapat menyebabkan bau mulut. selain itu mongonsumsi makanan tertenu
seperti bawang mentah akan menghasilkan bau yang khas,biofilm (lapisan biologis)
pada mukosa mulut yang mengandung jutaan bakteri, selain itu adanya karang
gigi, radang gusi, resesi gusi, plak dan karang gigi, lesi atau luka dalam
mulut, penyakit kelenjar ludah, tonsilitis/pembengkakan amandel, faringitis dan
abses faringeal, gigi palsu yang kotor,tembakau,merokok, lesi dihidung dan
telinga.
4.
PENCEGAHAN HALITOSIS
Cara
mencegah halitosis atau bau mulut yang
bisa dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan rongga mulut khususnya
setelah makan makanan tinggi protein, berkunjung ke dokter gigi untuk melakukan
perawatan atau pemeriksaan gigi dan gusi, Menyikat gigi, teknik flossing
dan pembersihan gigi tiruan, pendekatan
mekanik meliputi scaling dan root planing dari poket periodontal,
minum banyak air putih, sering berkumur-kumur dengan air membersihkan lidah
dengan sikat gigi, sikat lidah atau skrap lidah (tongue scraper),
berkumur-kumur dengan menggunakan obat kumur,
menstimulasi aliran saliva dengan mengunyah sesuatu bisa permen karet,
cengkih atau permen pengharum nafas, tapi pastikan bebas gula. Saliva mempunyai
efek membersihkan dan melarutkan bakteri dan produknya yang menyebabkan bau
mulut dan berkunjung ke dokter umum untuk memeriksa kesehatan umum yang bisa
menyebabkan bau mulut(Anonymous : 2003).
5.
PERAWATAN HALITOSIS
Perawatan untuk pasien
bau mulut berdasarkan Treatment Needs (TN) dikategorisasikan menjadi
lima kelas dalam rangka untuk menyediakan panduan dalam merawat pasien bau
mulut. TN-1 merupakan penjelasan pada pasien mengenai bau mulut dan instruksi oral
hygiene, TN-2 berupa oral prophylaxis, pembersihan secara profesional,
dan perawatan untuk penyakit mulut khususnya penyakit periodontal, TN-3 berupa
rujukan ke dokter umum atau dokter spesialis, TN-4 berupa penjelasan data
pemeriksaan, instruksi profesional lebih lanjut dan pendidikan, dan TN-5 berupa
rujukan ke Psikologis klinis, psikiatris atau spesialis psikologis lainnya
(Sanz M:2001).
6.
PENGOBATAN HALITOSIS
Penggunaan
obat kumur sebenarnya sah-sah
saja, karena digunakan untuk menghilangkan bau
mulut. Tapi didalam
obat kumur terdapat bahan
antiseptik yang
berfungsi membunuh
kuman dan bila berlebihan
dapat merusak ekosistem
yang ada di dalam rongga mulut yang akhirnya
dapat
menimbulkan
bau mulut.
Antiseptik yang terkandung dalam
obat kumur berfungsi melawan
plak, melindungi gigi dari kerusakan
serta menyamarkan bau
mulut. Menggunakan
obat kumur tanpa aturan yang
jelas dapat menyebabkan meningkatnya resiko
untuk terjadinya kanker
mulut. Oleh karena
itu penggunaannya harus
mengikuti aturan dan
ketentuan yang dianjurkan
oleh para praktisi kesehatan misalnya
oleh dokter, dokter gigi, perawat gigi atau tenaga
kesehatan gigi.
Praktisi kesehatan juga mengemukakan
anjuran untuk menggunakan obat
kumur
dengan fungsi sebagai pelengkap
atau tambahan untuk melakukan perawatan kesehatan gigi dan mulut saja.
Bukan untuk perawatan berkelanjutan, karena
penggunaan
obat kumur yang
secara rutin dan
dalam jangka waktu panjang
dapat meningkatkan risiko kanker mulut. Pemilihan obat kumur tersebut tidak
bisa sembarangan. Ada
berbagai sebab yang ditimbulkan
dari bau mulut, dan tidak semua
bau
mulut dapat dihilangkan hanya dengan
menggunakan
obat
kumur (Akhmadi, 2008). Penggunaan obat
kumur yang efektif adalah
saat malam hari ketika hendak
tidur. Karena pada saat kita tidur
mulut kita tidak beraktifitas sama sekali,
dengan demikian
merupakan waktu yang
tepat kuman-kuman beraktifitas.
Selain itu, Cara menangani bau mulut
adalah pastikan diagnosis, identifikasi dan eliminasi
faktor predisposisi dan faktor yang memodifikasi, identifikasi faktor kesehatan umum yang mempengaruhi dan rujuk ke dokter umum untuk
penanganannya, dan meninjau kembali untuk memastikan.
Setelah diagnosis yang pasti telah
dibuat, dilakukan perawatan yang meliputi instruksi oral hygiene yang
meliputi menyikat gigi, teknik flossing dan pembersihan gigi tiruan,
pendekatan mekanik meliputi scaling dan root planing dari poket periodontal dan akar gigi dan membersihkan lidah, pendekatan kimia menggunakan obat kumur, nasehat mengenai diet untuk membersihkan mulut setelah makan atau minum produk makanan atau minuman seperti ikan, daging, bawang putih, bawang merah, kopi dan merokok, dan kontrol secara teratur( Le at al.2004).
7.
KLASIFIKASI
BAU MULUT (HALITOSIS)
Bau mulut
dapat diklasifikasikan menjadi bau mulut sejati dan pseudo-bau mulut.
Bau mulut sejati atau genuine halitosis adalah suatu keadaan dimana bau
mulut yang tak sedap merupakan suatu masalah nyata yang dapat didiagnosis
dengan cara pemeriksaan berupa organoleptik, gas kromatografi dan sulfida
monitoring. Pseudobau mulut adalah suatu keadaan dimana bau mulut yang
tak sedap sebenarnya tidak ada, namun pasien mempercayai bahwa ia memilikinya.
Jika setelah perawatan, baik untuk bau mulut sejati ataupun pseudo-bau
mulut, pasien masih meyakini bahwa ia memiliki bau mulut maka diagnosisnya
disebut halitophobia.
Bau mulut sejati dikelompokkan menjadi
dua subklasifikasi, yaitu bau mulut fisiologis dan bau mulut patologis. Bau mulut fisiologis disebut juga sebagai transient halitosis, berasal
dari dorsum lidah, dan biasanya tidak
membutuhkan suatu terapi. Situasi ini sering
disebut sebagai “morning breath” yang lebih merupakan masalah penampilan daripada masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Sebaliknya, bau mulut patologis, tidak dapat diselesaikan dengan metode
higiene mulut biasa dan dapat mencegah pasien menjalani kehidupan yang normal.
Oleh karena itu, bau mulut patologis harus dirawat dan pendekatan terapeutiknya
tergantung pada sumber bau mulut. Berdasarkan asalnya, bau mulut patologis
disubklasifikasikan menjadi (1) oral, yaitu kondisi patologis berasal dari
dalam rongga mulut dan (2) ekstraoral, yaitu kondisi patologis berasal dari
luar mulut seperti traktus respiratorius atas maupun bawah, sistem pencernaan,
kelainan sistemik dan sebagainya(Sanz M.dkk. 2001).
Tabel klasifikasi halitosis
No.
|
Klasifikasi
|
Gambaran Umum
|
I.
|
Genuine halitosis
a.
Halitosis fisiologis
b.
Halitosis patologis
1)
Oral
2)
Ekstraoral
|
Halitosis
jelas, dapat dirasa.
-
Halitosis muncul akibat proses
pembusukkan didalam mulut. Tidak ada penyakit spesifik atau kondisi
patologis.
-
Umumnya berasal dari tepi
posterior lidah
-
Halitosis berhubungan dengan
makanan
-
Halitosis disebabkan oleh penyakit, kondisi
patologis atau malfungsi dari jaringan mulut.
-
Halitosis berasal dari lapisan lidah, kombinasi
dari keadaan patologik(penyakit periodontal, serostomia)
-
Bau berasal dari nasal, perinasal dan laring
-
Bau berasal dari saluran napas dan cerna
-
Bau berasal dari dalam tubuh (diabetes, hepatic
cirrhosis, uremia.
|
II.
|
Pseudohalitosis
|
-
Bau tidak dirasakan
oleh orang lain, meskipun pasien mengeluh tentang keadaannya.
-
Dapat dilakukan
penyuluhan (dukungan, pendidikan dan
keterangan dari hasil pemeriksaan) dan pengukuran kebersihan mulut.
|
III.
|
Halitofobia
|
-
Dirasa mulutnya
berbau walaupun telah dilakukan pemeriksaan
-
Tidak ada pemeriksaan
fisik yang jelas tentang halitosis ini
|
8.
ALAT DAN CARA UKUR BAU MULUT
Terdapat tiga metode utama dalam mengukur bau mulut, yaitu
pengukuran organoleptik, gas kromatografi (GC) dan sulfida monitoring. Pada
pengukuran organoleptik, uji pada pasien dinilai berdasarkan persepsi pemeriksa
terhadap bau mulut pasien. Gas kromatografi (GC) dipertimbangkan sebagai
standar utama untuk mengukur bau mulut karena pengukuran ini spesifik terhadap volatile
sulfur compound yang merupakan penyebab utama bau mulut, namun peralatannya
mahal, besar dan membutuhkan keterampilan operator. Sulfida monitoring, seperti
misalnya halimeter, dapat menganalisis kandungan sulfur total dari udara mulut
pasien(Sanz M.dkk. 2001).
Dewasa ini, analisis kuantitatif dengan
menggunakan Kromatograf Gas (Gas Chromatograph (GC)) dianggap sebagai alat ukur bau mulut yang dapat diandalkan. Akhir-akhir ini, dikembangkan suatu alat kromatograf gas (GC) yang sederhana, praktis dan dilengkapi dengan indium oxide semiconductor gas sensor
(SCS) untuk mengukur konsentrasi volatile
sulfur compounds (VSC) di dalam udara rongga mulut. Alat ini dapat memenuhi harapan para praktisi kedokteran gigi mengingat alat ini mudah dioperasikan, memiliki sensitivitas dalam mendeteksi bau mulut, sederhana, mudah dipindah-pindahkan, dan memiliki harga yang rendah. Sebagai tambahan, alat ini dapat mengukur konsentrasi gas individual dari volatile sulfur compounds (VSC) dalam ukuran part per billion (ppb) dan ng/10 ml. Kemampuan tersebut dapat memudahkan kita untuk membedakan bau mulut patologis dan bau mulut fisiologis. Alat ini juga mudah dipindah-pindahkan dan praktis, sehingga dapat dipergunakan dalam lingkungan klinik maupun penelitian lapangan, atau untuk tujuan penelitian
epidemiologis. GC-SCS Oral Chroma dikembangkan secara kolaboratif bersama
Profesor Hideo Miyazaki (Divisi Kedokteran
Gigi Pencegahan, Departemen Ilmu Kesehatan Mulut), Graduate School of Medical
and Dental Science University of Niigata, dan FIS Co., Ltd. ABILIT Corporation.
GC-SCS Oral Chroma merupakan kromatograf
gas (GC) yang praktis dan sederhana, dan dilengkapi dengan semiconductor gas
sensor (SCS) yang baru dikembangkan dari indium oksida (In2O3), yang
memberikan sensitivitas tinggi untuk hidrogen sulfida (H2S), methyl
mercaptan (CH3SH), dan dimethyl sulfide ((CH3)2S). Alat GC-SCS ini
dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi gas-gas volatile sulfur compound
(VSC) individual seperti hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH),
dan komponen volatile sulfur compound (VSC). Rasio dari masing-masing
komponen sangat penting dalam diagnosis bau mulut. Hanada dkk pada tahun 2003
dan Murata dkk pada tahun 2006 melaporkan bahwa pegukuran menggunakan GC-SCS
memiliki reprodusibilitas tinggi untuk gas-gas volatile sulfur
compound (VSC) individual, dan sedikit sekali terpengaruh oleh bahan-bahan
mudah menguap lainnya seperti acetone dan ethanol. Alat ini dapat
mendeteksi bau mulut dalam konsentrasi volatile sulfur compound (VSC)
yang sangat rendah, sehingga pemeriksaan yang dilakukan mencerminkan ketepatan
dan sensitivitas GC-SCS.
Prosedur pemeriksaan yang dianjurkan
adalah sebagai berikut. Pasien diminta untukberhenti makan atau minum,
menghentikan kebiasaan membersihkan mulut yang biasa dilakukan sehari-hari,
berhenti menggunakan obat kumur dan penyegar nafas, dan seluruhnya dilakukan
setidaknya 2 jam sebelum penilaian dilakukan. Semprit (syringe) plastik
sekali pakai berukuran satu milliliter dimasukkan ke dalam rongga mulut sedalam
5 cm di antara gigi-gigi anterior atas dan bawah, dan mulut tetap tertutup.
Semprit diletakkan secara perlahan-lahan agar tidak menyentuh lidah. Sebelum
menganalisis sampel udara rongga mulut, subjek diminta untuk menghirup nafas
panjang sembari tetap menutup mulut dan bernafas lewat hidung selama 30 detik.
Setelah 30 detik berlalu, batang plunger pada semprit ditarik perlahan,
dan kembali didorong. Kemudian tarik untuk kedua kalinya sebelum melepaskan
semprit plastik tersebut dari mulut. Setelah mengaspirasi 1 ml udara rongga
mulut, jarum dipasang kembali pada semprit dan sampel mulai disemprotkan sebanyak
0,5 ml. Akhirnya, sisa sampel udara rongga mulut diinjeksikan ke dalam bagian
dari alat yang disebut injection port pada GC-SCS. Pengukuran akan
dimulai secara otomatis.
Dalam
pemprosesan data, Oral Chroma Data Manager merupakan suatu program yang akan
memproses analisis hasil pengukuran yang didapatkan dari GC-SCS. Pengatur data
ini akan secara otomatis memproses nilai pengukuran data dan akan ditampilkan
pada layar komputer. Hasil akan tampak dalam bentuk grafik, kurva, dan numerik
yang meliputi tiga gas utama, hidrogen sulfida (H2S), methyl
mercaptan (CH3SH), dan
dimethyl sulfide ((CH3)2S) dalam unit ng/10 ml dan part per billion (ppb). Pemprosesan data dapat memberikan tampilan grafis pada komputer termasuk komentar evaluasi singkat mengenai nilai pengukuran yang membantu dalam analisis data. Sebagai tambahan, tampilan grafis dapat digunakan oleh para klinisi untuk berkomunikasi dan memberikan edukasi kepada pasien mengenai hal-hal yang terkait kesehatan rongga mulutnya( rahardjo A,dkk.2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar